Artikel Politik di
Indonesia
Tentang Perilaku Pemilih: Politik Uang dan Demokrasi Kita
Tentang Perilaku Pemilih: Politik Uang dan Demokrasi Kita
Milih
sing ngeke’i kaos ambe duit ae (memilih yang memberi kaus dan uang saja),” ujar
Lastri (35), pedagang kaki lima di Sidoarjo, Jawa Timur, saat ditanya siapa
yang akan dipilih dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur periode 2008-2013 yang
dilaksanakan 23 Juli mendatang.
Ungkapan
seperti disampaikan Lastri belakangan ini beberapa kali terdengar di Jatim saat
pertanyaan serupa diajukan. Jawaban itu agaknya juga dipahami sebagian atau
bahkan semua pasangan calon kepala daerah yang tengah bertarung dalam Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) Jatim.
Hal ini
terlihat dari kampanye sebagian pasangan calon, yang seolah adalah jawaban atas
pernyataan Lastri. Misalnya, dengan mengadakan penjualan kebutuhan pokok
berharga murah atau menggelar gerak jalan berhadiah sepeda motor. Sebagian
calon juga tidak segan-segan mentraktir makan dan minum warga yang ditemui di
tempat umum.
Sikap
”royal” pasangan calon peserta Pilkada Jatim ini bukan hal baru. Hal yang
hampir sama juga terjadi di sejumlah pilkada. Misalnya, di Pilkada Kabupaten
Bojonegoro, Jatim, akhir 2012. Saat itu Panitia Pengawas Pilkada setempat
menemukan amplop berisi Rp 10.000 dan Rp 5.000 disertai ajakan memilih pasangan
calon bupati tertentu (Kompas Jatim, 13/10/2013).
Hal
serupa ditemukan pada Pilkada Jawa Barat, 13 April 2013. Pada 9 April 2013, 147
warga Kampung Bantarpanjang, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi, mendapat
amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pesan agar memilih salah satu peserta
pilkada (Kompas, 10/10).
Sebagian
warga masyarakat mungkin langsung menilai berbagai tindakan itu adalah praktik
politik uang. Namun, anggota Komisi Pemilihan Umum Jatim, Didik Prasetyono,
mengatakan, pemberian uang atau barang itu tidak bisa langsung dikategorikan
sebagai politik uang.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, sebuah tindakan
disebut politik uang jika terbukti untuk memengaruhi pilihan warga. Pembuktian
ini yang sulit dan memakan waktu lama karena harus sampai pengadilan.
Kondisi
inilah yang membuat belum pernah terdengar ada pasangan peserta pilkada yang
pencalonannya dibatalkan oleh DPRD karena terbukti melakukan praktik politik
uang.
Bukan hal baru
Direktur
Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, berbagai praktik berbau politik
uang, seperti yang sekarang sering terjadi, bukan hal baru, tetapi sudah ada
sejak era Orde Baru. ”Di Orde Baru, setiap menjelang pemilu, biasanya ada
bagi-bagi uang atau janji percepatan percepatan pembangunan fasilitas
pembangunan di suatu daerah,” ucapnya lagi.
Praktik
itu efektif memengaruhi warga karena disertai dengan kebijakan massa mengambang
serta kontrol yang ketat dari birokrasi dan militer. ”Namun, kondisi sekarang
berbeda. Sulit untuk mengukur efektivitas praktik serupa jika sekarang
dilakukan,” ucap Qodari.
Masyarakat,
tutur Qodari, semakin cerdas sehingga ada warga yang mau menerima uang dari
seorang calon, tetapi memberikan suara kepada calon lain.
Namun,
lanjut Qodari, semakin luas wilayah dan semakin banyak penduduk, efektivitas
berbagai praktik yang berbau politik uang akan semakin berkurang.
Pengajar
Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, melihat maraknya
berbagai praktik yang diduga politik uang di pilkada menunjukkan
ketidakpercayaan calon kepada dirinya sendiri. Karena tidak yakin programnya
diterima, mereka berusaha menarik perhatian masyarakat dengan cara lain, yaitu
politik uang. Sasaran politik uang ini terutama pemilih dari kelas menengah ke
bawah yang belum menentukan pilihan. Dari 29,045 juta pemilih pada Pilkada
Jatim, diduga sekitar 30 persen belum menentukan pilihan.
Litbang
Kompas mencatat, di Jatim ada tujuh juta penduduk miskin. Penganggur mencapai
1,5 juta orang atau 8 persen dari jumlah angkatan kerja di Jatim. Kelas
menengah ke bawah itu diyakini akan lebih mudah dipengaruhi uang. Keyakinan ini
bukanlah tanpa alasan. Sebab, seperti disampaikan guru besar Universitas
Airlangga, Soetandyo Wignjosoebroto, demokrasi membutuhkan masyarakat yang
mandiri, baik secara ekonomi maupun ideologi.
Representasi lemah
Maraknya
politik uang juga merupakan tanda lemahnya representasi. Mereka yang berkuasa
umumnya dipandang lebih mementingkan dirinya sendiri dibandingkan bekerja untuk
rakyat sehingga muncul pendapat, siapa pun yang berkuasa, keadaan tidak akan
berubah.
Kondisi
ini membuat sebagian rakyat melihat pilkada bukan sebagai momentum untuk
memilih pemimpin yang dapat memperjuangkan kepentingan mereka, namun merupakan
saat suara rakyat dibutuhkan untuk mengantarkan seseorang menjadi elite
politik. Karena itu, mereka merasa berhak mendapatkan upah atas dukungan yang
diberikannya kepada (seorang) calon.
Akhirnya,
berbagai praktik yang berbau politik uang ini, baik yang dilakukan langsung
maupun tidak, tersamar atau terang-terangan, membuat politik menjadi mahal.
Biaya yang dikeluarkan seorang calon kepala daerah di Jawa, sejak berniat
mencalonkan diri hingga pilkada usai, diyakini lebih dari Rp 100 miliar.
Padahal, gaji gubernur, lengkap dengan berbagai tunjangannya, sebulan kurang
dari Rp 100 juta, atau Rp 1,2 miliar setiap tahun. Kekurangan biaya investasi
itu bisa memunculkan korupsi dalam jabatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar